Minggu, 03 November 2013

TAP MPRS No. XXV/1966 DAN SUPERSEMAR DILIHAT DARI FILSAFAT ANALITIK

By: Harsa Permata*

Dengan ditetapkannya TAP MPRS No. XXV/1966, maka sejak saat itu PKI sebagai Partai Politik dinyatakan dibubarkan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi yang diklaim sebagai ideologi PKI dinyatakan sebagai ideologi terlarang (TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966).  Persoalan timbul ketika ketetapan ini tetap dinyatakan berlaku lewat Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 yang berbunyi:
“Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini, kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia” (id.wikipedia.org, diakses tanggal 7/12/2011, jam 8.41 WIB).
Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 berisikan Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. “Tujuan Tap MPR tersebut adalah untuk meninjau materi dan status hukum setiap TAP MPRS dan TAP MPR, menetapkan keberadaan (eksistensi) dari TAP MPRS dan TAP MPR untuk saat ini dan masa yang akan datang, serta untuk memberi kepastian hukum” (id.wikipedia.org, diakses tanggal 7/12/2011, jam 8.47 WIB).
TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 adalah produk Orde Baru yang melakukan kudeta merangkak untuk mendongkel pemerintahan Soekarno. Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto menggunakan dalih G-30-S untuk memecah poros NASAKOM yang digagas oleh Soekarno yang terkenal dengan konsep Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme-nya. Bagi Soekarno (sebagaimana tertulis dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi), pergerakan rakyat Indonesia memiliki tiga karakter yaitu, Nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis. Menurutnya persatuan tiga ideologi ini bisa menghasilkan kekuatan layaknya ombak yang mempunyai daya terjang yang maha kuat (Soekarno, 1964 : 2).
Peristiwa G-30-S pada tahun 1965 yang memakan korban jiwa terbunuhnya 6 Jenderal Angkatan Darat, dan satu perwira pertama. Peristiwa inilah yang kemudian memicu para Jenderal Angkatan Darat untuk mendesak Soekarno agar memberi wewenang khusus pada Soeharto. Wewenang khusus lewat supersemar pun kemudian diberikan oleh Soekarno. Soeharto lalu membubarkan PKI sebagai konsekuensi dari kewenangan yang diberikan oleh Soekarno lewat Supersemar. Surat Perintah Sebelas Maret adalah fondasi awal kekuasaan Soeharto dan Orde Baru. Dengan manipulasi politik lewat Dekrit Presiden  No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966, dengan dalih “atas perintah presiden”, Soeharto membubarkan PKI dan organisasi komunis lainnya (Caldwell dkk, 2011 : 282).
Soeharto menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk mengambilalih kekuasaan dengan cara kudeta merangkak. Dikatakan sebagai kudeta merangkak adalah karena usaha kudeta dilakukan lewat selubung tindakan pencegahan terhadap sebuah aksi yang dituduh sebagai kudeta. Soeharto kemudian membesar-besarkan G-30-S sebagai sebuah aksi pengkhianatan dan kejahatan akibat dari kesalahan yang besar dalam pemerintahan Soekarno. Dengan dalih ini Soeharto menuduh PKI sebagai dalang G-30-S, selanjutnya Soeharto menangkapi sekitar satu setengah juta orang yang dituduh terlibat dalam G-30-S. Ratusan ribu dibantai oleh Angkatan Darat kemudian (Roosa, 2008 : 5), sementara menurut pengakuan Sarwo Edhie Wibowo sebagai komandan pembantaian, tiga juta orang yang dibantai (Pour, 2011:273).
Yang menarik kemudian adalah produk Undang-Undang yang lahir sebagai legitimasi pembubaran PKI dan pelarangan terhadap Marxisme-Leninisme yang diklaim sebagai ideologi dari PKI. Dalam TAP MPRS No. XXV tahun 1966 terdapat beberapa pasal yang menggambarkan kondisi politik pada masa itu, pertama, “Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang” (Pasal 2 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966). “Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan,bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan” (Pasal 3 TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966).
Kalau dianalisis proposisi yang terdapat dalam pasal 2 adalah:  pertama, pelarangan penyebaran faham Komunisme/Marxisme-Leninisme; kedua, pelarangan pengembangan faham Marxisme-Leninisme. Sementara dalam pasal 3, pertama, kegiatan mempelajari faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam Universitas-Universitas dilakukan secara terpimpin, kedua keterpimpinan adalah dalam rangka mengamankan Pancasila.
Menurut Bertrand Russell, analisa bahasa yang benar akan menghasilkan pengetahuan yang benar tentang hakikat kenyataan duniawi (Russell dalam Kaelan, 2002 : 103). Prinsip Isomorfi Russell yang mendasari filsafat analitika bahasanya, yaitu ada similaritas antara struktur realitas dan struktur bahasa (Mustansyir, 2007 : 53). Dalam pandangan Russell, suatu proposisi atomik menjelaskan fakta atomik (Russell dalam Mustansyir, 2007 : 59). Fakta atomik yang dijelaskan dalam pasal 2 dan 3 adalah, politik antikomunis dan militeristik dari Orde Baru, kata “terpimpin” pada pasal 3 bersifat komando, yang sebelumnya juga diterapkan oleh Soekarno lewat konsep demokrasi terpimpin.
Konsep demokrasi terpimpin adalah hasil konsesi Soekarno dengan militer (TNI) yang menolak demokrasi liberal. Demokrasi terpimpin yang bermula semenjak dekrit presiden 5 Juli 1959 diumumkan oleh Soekarno, adalah sejalan dengan keinginan elit militer yang ingin membatasi pengaruh partai-partaai politik, khususnya PKI. Dengan digantinya UUDS 1950 dengan UUD 1945 yang memberi kekuasaan yang lebih besar kepada presiden, maka dengan ini menteri-menteri tidak bertanggung jawab pada parlemen lagi, tetapi kepada presiden. Parlemen yang berisikan wakil-wakil partai politik, tidak bisa lagi dengan leluasa memecat para menteri, dengan ini maka pengaruhnya menjadi terbatas. (Caldwell dkk, 2011 : 218-219).
Dasar pertimbangan dari TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 adalah:
  1. “Bahwa faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila.
  2. Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang menganut faham atau ajaran Komunisme/Marxisme- Leninisme, khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan jalan kekerasan.
  3. Bahwa berhubung dengan itu, perlu mengambil tindakan tegas terhadap Partai Komunis Indonesia dan terhadap kegiatan-kegiatan yang menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme” (TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966).
Ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme dipertentangkan dengan Pancasila dalam proposisi yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan. Proposisi kedua berisikan tuduhan bahwa PKI dalam sejarah Republik Indonesia beberapa kali berusaha menjatuhkan Pemerintah R.I yang sah dengan jalan kekerasan. Fakta atomik yang ditonjolkan dalam kedua proposisi yang menjadi dasar pertimbangan penetapan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, hanyalah tuduhan bahwa PKI beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintahan R.I yang sah dengan jalan kekerasan. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana dengan usaha delegitimasi terhadap pemerintahan yang sah yang dilakukan oleh kelompok lain seperti Pemberontakan PRRI, yang berlanjut menjadi perang penumpasan lewat operasi militer yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Nasution selama dua tahun, yang menewaskan ribuan korban jiwa dari kedua belah pihak (Pour, 2011 : 212). Bagaimana juga dengan pemberontakan Darul Islam yang mengangkat senjata melawan pemerintah, yang kemudian diampuni Soekarno –kecuali pucuk pimpinannya- (Roosa, 2008 : xviii).
Dasar pertimbangan TAP MPRS No. XXV/1966 adalah sangat tidak logis, dan terkesan berat sebelah. Fakta atomik yang ditonjolkan dalam proposisi yang menjadi dasar pertimbangan hanyalah tuduhan bahwa PKI telah beberapa kali berusaha menjatuhkan pemerintah R.I yang sah dengan jalan kekerasan. Sementara jalan kekerasan juga dilakukan oleh golongan lain seperti PRRI dan DI, untuk menjatuhkan kekuasaan yang sah.
Fakta atomik lain yang ditonjolkan dalam proposisi dasar pertimbangan TAP MPRS No. XXV/ 1966 adalah kontradiksi hakiki antara ideologi Komunisme dan Pancasila.  Padahal masyarakat komunis menurut Marx adalah masyarakat yang berpola, “From each according to his ability, to each according to his needs”. Distribusi kerja dan hasil berdasarkan prinsip ini adalah bersifat proporsional. Ini sejalan dengan sila kelima Pancasila yaitu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari sini bisa ditarik kesimpulan jika ada sebuah kesamaan maka ideologi Komunisme dan Pancasila secara hakiki tidak bertentangan.
Menurut Russell, kebenaran atau ketidakbenaran sebuah proposisi majemuk tergantung pada proposisi atomik yang terdapat di dalamnya (Mustansyir, 2007: 60). Karena proposisi atomik yang terdapat dalam TAP MPRS No. XXV/1966 menggabarkan fakta atomik yang berlawanan dengan realitas obyektif, maka bisa disimpulkan bahwa, Pertama, TAP MPRS No. XXV/1966, adalah bukan sebuah rumusan yang bersifat adil dan obyektif.
TAP MPRS No. XXV/1966 secara hukum bertentangan dengan UUD 1945, karena dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (3)-yang ditulis dalam poin “mengingat” pada TAP MPRS No. XXV/1966- yang menjadi representasi dari rakyat, dan berhak membuat keputusan dan Undang-Undang atas nama rakyat (UUD 1945 pasal 3 dalam Tumakaka, 1998 : 164)) adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara).
Tindakan Soeharto yang membubarkan PKI dengan menggunakan dasar Supersemar juga kontradiktif. Memang dalam supersemar terdapat proposisi majemuk yang menjadi perintah dari Soekarno kepada Soeharto yaitu,  “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi…”, tetapi dalam proposisi majemuk tersebut terdapat proposisi atomik, “dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi” (Supersemar dalam Tumakaka, 1998 : 190). Siapakah Pemimpin Besar Revolusi? Ketika itu hanya satu Pemimpin Besar Revolusi, yaitu Soekarno atau Bung Karno. Apakah dalam ajaran Bung Karno terdapat perintah untuk membubarkan organisasi yang menganut ideologi Komunisme? Sepertinya tidak ada, dan tidak pernah ada, karena Soekarno sendiri menginginkan persatuan antara tiga pandangan hidup yang dominan dalam bangsa Indonesia saat itu, yaitu Nasionalisme, Islamisme, dan Msarxisme. Konsep NASAKOM yang dikemukakan olehnya adalah manifestasi dari gagasannya tentang persatuan antara tiga ideologi tersebut.
Dari analisis terhadap dua dokumen bersejarah tadi bisa ditarik beberapa kesimpulan: pertama, TAP MPRS No. XXV/1966 adalah cacat hukum atau inkonstitusional, karena bertentangan dengan UUD 1945 dan Surat Perintah Sebelas Maret yang menjadi dasar kemunculannya. Kedua, fakta atomik yang bisa dilihat dalam TAP MPRS No. XXV/1966 adalah manipulasi konstitusi, dan pemerkosaan terhadap nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila, seperti nilai kemanusiaan, dan keadilan. Karena dengan kemunculan ketetapan ini pembantaian secara besar-besaran terhadap orang-orang yang dituduh komunis terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Ketiga, TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang keputusan bahwa TAP MPRS No. XXV/1966 tetap dinyatakan berlaku adalah tidak sah dan kontradiktif, karena proposisi “kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia”, adalah kontradiktif dengan pelarangan sebuah ideologi yang dalam hal ini adalah Komunisme/Marxisme-Leninisme. Karena pelarangan terhadap ideologi adalah salah satu wujud tindakan antidemokrasi, dan melanggar hak asasi manusia.
Pancasila adalah sumber dari semua peraturan perundang-undangan di Indonesia.  Sumber hukum meliputi dua macam pengertian yaitu: pertama, sumber hukum formal, yaitu sumber hukum dilihat dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum yang mengikat masyarakat, seperti Undang-Undang, ketetapan presiden, peraturan menteri. Kedua, sumber hukum material yang menentukan materi dan isi suatu norma hukum. Jika sebuah norma hukum memiliki kontradiksi dengan norma hukum lainnya yang lebih tinggi, apalagi dengan Pancasila, maka terjadilah sebuah inkonstitusionalitas dan ketidaklegalan. Oleh karena itu norma hukum tersebut batal demi hukum (Gunadarma, 2007:83). Karena TAP MPRS No.XXV/1966 bertentangan dengan UUD 1945, Supersemar dan Pancasila maka TAP MPRS No. XXV/1966 secara hukum adalah tidak sah dan harus dibatalkan. Begitu juga dengan ketetapan MPR yang menyatakan TAP MPRS No. XXV/1966 tetap berlaku***
* Penulis adalah mahasiswa S2 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, pernah menjadi guru SMA internasional di Jakart

0 komentar:

Posting Komentar