TAP MPRS No. XXV/1966 DAN SUPERSEMAR DILIHAT DARI FILSAFAT ANALITIK
By: Harsa Permata*
Dengan ditetapkannya TAP MPRS No.
XXV/1966, maka sejak saat itu PKI sebagai Partai Politik dinyatakan
dibubarkan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi yang diklaim sebagai
ideologi PKI dinyatakan sebagai ideologi terlarang (TAP MPRS No.
XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966). Persoalan timbul ketika ketetapan ini
tetap dinyatakan berlaku lewat Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 yang
berbunyi:
“Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini, kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia” (id.wikipedia.org, diakses tanggal 7/12/2011, jam 8.41 WIB).
Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 berisikan
Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan
MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. “Tujuan Tap MPR tersebut
adalah untuk meninjau materi dan status hukum setiap TAP MPRS dan TAP
MPR, menetapkan keberadaan (eksistensi) dari TAP MPRS dan TAP MPR untuk
saat ini dan masa yang akan datang, serta untuk memberi kepastian hukum”
(id.wikipedia.org, diakses tanggal 7/12/2011, jam 8.47 WIB).
TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 adalah produk
Orde Baru yang melakukan kudeta merangkak untuk mendongkel pemerintahan
Soekarno. Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto menggunakan dalih
G-30-S untuk memecah poros NASAKOM yang digagas oleh Soekarno yang
terkenal dengan konsep Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme-nya. Bagi
Soekarno (sebagaimana tertulis dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi),
pergerakan rakyat Indonesia memiliki tiga karakter yaitu, Nasionalistis,
Islamistis, dan Marxistis. Menurutnya persatuan tiga ideologi ini bisa
menghasilkan kekuatan layaknya ombak yang mempunyai daya terjang yang
maha kuat (Soekarno, 1964 : 2).
Peristiwa G-30-S pada tahun 1965 yang
memakan korban jiwa terbunuhnya 6 Jenderal Angkatan Darat, dan satu
perwira pertama. Peristiwa inilah yang kemudian memicu para Jenderal
Angkatan Darat untuk mendesak Soekarno agar memberi wewenang khusus pada
Soeharto. Wewenang khusus lewat supersemar pun kemudian diberikan oleh
Soekarno. Soeharto lalu membubarkan PKI sebagai konsekuensi dari
kewenangan yang diberikan oleh Soekarno lewat Supersemar. Surat Perintah
Sebelas Maret adalah fondasi awal kekuasaan Soeharto dan Orde Baru.
Dengan manipulasi politik lewat Dekrit Presiden No.1/3/1966 tanggal 12
Maret 1966, dengan dalih “atas perintah presiden”, Soeharto membubarkan
PKI dan organisasi komunis lainnya (Caldwell dkk, 2011 : 282).
Soeharto menggunakan G-30-S sebagai dalih
untuk mengambilalih kekuasaan dengan cara kudeta merangkak. Dikatakan
sebagai kudeta merangkak adalah karena usaha kudeta dilakukan lewat
selubung tindakan pencegahan terhadap sebuah aksi yang dituduh sebagai
kudeta. Soeharto kemudian membesar-besarkan G-30-S sebagai sebuah aksi
pengkhianatan dan kejahatan akibat dari kesalahan yang besar dalam
pemerintahan Soekarno. Dengan dalih ini Soeharto menuduh PKI sebagai
dalang G-30-S, selanjutnya Soeharto menangkapi sekitar satu setengah
juta orang yang dituduh terlibat dalam G-30-S. Ratusan ribu dibantai
oleh Angkatan Darat kemudian (Roosa, 2008 : 5), sementara menurut
pengakuan Sarwo Edhie Wibowo sebagai komandan pembantaian, tiga juta
orang yang dibantai (Pour, 2011:273).
Yang menarik kemudian adalah produk
Undang-Undang yang lahir sebagai legitimasi pembubaran PKI dan
pelarangan terhadap Marxisme-Leninisme yang diklaim sebagai ideologi
dari PKI. Dalam TAP MPRS No. XXV tahun 1966 terdapat beberapa pasal yang
menggambarkan kondisi politik pada masa itu, pertama, “Setiap kegiatan
di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan
penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau
pengembangan faham atau ajaran tersebut, dilarang” (Pasal 2 TAP MPRS No.
XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966). “Khususnya mengenai kegiatan mempelajari
secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila, dapat
dilakukan secara terpimpin, dengan ketentuan,bahwa Pemerintah dan DPR-GR
diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan” (Pasal 3 TAP
MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966).
Kalau dianalisis proposisi yang terdapat
dalam pasal 2 adalah: pertama, pelarangan penyebaran faham
Komunisme/Marxisme-Leninisme; kedua, pelarangan pengembangan faham
Marxisme-Leninisme. Sementara dalam pasal 3, pertama, kegiatan
mempelajari faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam
Universitas-Universitas dilakukan secara terpimpin, kedua keterpimpinan
adalah dalam rangka mengamankan Pancasila.
Menurut Bertrand Russell, analisa bahasa
yang benar akan menghasilkan pengetahuan yang benar tentang hakikat
kenyataan duniawi (Russell dalam Kaelan, 2002 : 103). Prinsip Isomorfi
Russell yang mendasari filsafat analitika bahasanya, yaitu ada
similaritas antara struktur realitas dan struktur bahasa (Mustansyir,
2007 : 53). Dalam pandangan Russell, suatu proposisi atomik menjelaskan
fakta atomik (Russell dalam Mustansyir, 2007 : 59). Fakta atomik yang
dijelaskan dalam pasal 2 dan 3 adalah, politik antikomunis dan
militeristik dari Orde Baru, kata “terpimpin” pada pasal 3 bersifat
komando, yang sebelumnya juga diterapkan oleh Soekarno lewat konsep
demokrasi terpimpin.
Konsep demokrasi terpimpin adalah hasil
konsesi Soekarno dengan militer (TNI) yang menolak demokrasi liberal.
Demokrasi terpimpin yang bermula semenjak dekrit presiden 5 Juli 1959
diumumkan oleh Soekarno, adalah sejalan dengan keinginan elit militer
yang ingin membatasi pengaruh partai-partaai politik, khususnya PKI.
Dengan digantinya UUDS 1950 dengan UUD 1945 yang memberi kekuasaan yang
lebih besar kepada presiden, maka dengan ini menteri-menteri tidak
bertanggung jawab pada parlemen lagi, tetapi kepada presiden. Parlemen
yang berisikan wakil-wakil partai politik, tidak bisa lagi dengan
leluasa memecat para menteri, dengan ini maka pengaruhnya menjadi
terbatas. (Caldwell dkk, 2011 : 218-219).
Dasar pertimbangan dari TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 adalah:
- “Bahwa faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila.
- Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang menganut faham atau ajaran Komunisme/Marxisme- Leninisme, khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan jalan kekerasan.
- Bahwa berhubung dengan itu, perlu mengambil tindakan tegas terhadap Partai Komunis Indonesia dan terhadap kegiatan-kegiatan yang menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme” (TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966).
Ideologi Komunisme/Marxisme-Leninisme
dipertentangkan dengan Pancasila dalam proposisi yang dijadikan sebagai
dasar pertimbangan. Proposisi kedua berisikan tuduhan bahwa PKI dalam
sejarah Republik Indonesia beberapa kali berusaha menjatuhkan Pemerintah
R.I yang sah dengan jalan kekerasan. Fakta atomik yang ditonjolkan
dalam kedua proposisi yang menjadi dasar pertimbangan penetapan TAP MPRS
No. XXV/MPRS/1966, hanyalah tuduhan bahwa PKI beberapa kali berusaha
merobohkan kekuasaan Pemerintahan R.I yang sah dengan jalan kekerasan.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana dengan usaha delegitimasi
terhadap pemerintahan yang sah yang dilakukan oleh kelompok lain seperti
Pemberontakan PRRI, yang berlanjut menjadi perang penumpasan lewat
operasi militer yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Nasution selama dua
tahun, yang menewaskan ribuan korban jiwa dari kedua belah pihak (Pour,
2011 : 212). Bagaimana juga dengan pemberontakan Darul Islam yang
mengangkat senjata melawan pemerintah, yang kemudian diampuni Soekarno
–kecuali pucuk pimpinannya- (Roosa, 2008 : xviii).
Dasar pertimbangan TAP MPRS No. XXV/1966
adalah sangat tidak logis, dan terkesan berat sebelah. Fakta atomik yang
ditonjolkan dalam proposisi yang menjadi dasar pertimbangan hanyalah
tuduhan bahwa PKI telah beberapa kali berusaha menjatuhkan pemerintah
R.I yang sah dengan jalan kekerasan. Sementara jalan kekerasan juga
dilakukan oleh golongan lain seperti PRRI dan DI, untuk menjatuhkan
kekuasaan yang sah.
Fakta atomik lain yang ditonjolkan dalam
proposisi dasar pertimbangan TAP MPRS No. XXV/ 1966 adalah kontradiksi
hakiki antara ideologi Komunisme dan Pancasila. Padahal masyarakat
komunis menurut Marx adalah masyarakat yang berpola, “From each according to his ability, to each according to his needs”.
Distribusi kerja dan hasil berdasarkan prinsip ini adalah bersifat
proporsional. Ini sejalan dengan sila kelima Pancasila yaitu, keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari sini bisa ditarik kesimpulan
jika ada sebuah kesamaan maka ideologi Komunisme dan Pancasila secara
hakiki tidak bertentangan.
Menurut Russell, kebenaran atau
ketidakbenaran sebuah proposisi majemuk tergantung pada proposisi atomik
yang terdapat di dalamnya (Mustansyir, 2007: 60). Karena proposisi
atomik yang terdapat dalam TAP MPRS No. XXV/1966 menggabarkan fakta
atomik yang berlawanan dengan realitas obyektif, maka bisa disimpulkan
bahwa, Pertama, TAP MPRS No. XXV/1966, adalah bukan sebuah rumusan yang
bersifat adil dan obyektif.
TAP MPRS No. XXV/1966 secara hukum
bertentangan dengan UUD 1945, karena dalam Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (3)-yang ditulis dalam poin
“mengingat” pada TAP MPRS No. XXV/1966- yang menjadi representasi dari
rakyat, dan berhak membuat keputusan dan Undang-Undang atas nama rakyat
(UUD 1945 pasal 3 dalam Tumakaka, 1998 : 164)) adalah Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara).
Tindakan Soeharto yang membubarkan PKI
dengan menggunakan dasar Supersemar juga kontradiktif. Memang dalam
supersemar terdapat proposisi majemuk yang menjadi perintah dari
Soekarno kepada Soeharto yaitu, “mengambil segala tindakan yang
dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan, serta
kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi…”, tetapi dalam
proposisi majemuk tersebut terdapat proposisi atomik, “dan melaksanakan
dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi” (Supersemar dalam
Tumakaka, 1998 : 190). Siapakah Pemimpin Besar Revolusi? Ketika itu
hanya satu Pemimpin Besar Revolusi, yaitu Soekarno atau Bung Karno.
Apakah dalam ajaran Bung Karno terdapat perintah untuk membubarkan
organisasi yang menganut ideologi Komunisme? Sepertinya tidak ada, dan
tidak pernah ada, karena Soekarno sendiri menginginkan persatuan antara
tiga pandangan hidup yang dominan dalam bangsa Indonesia saat itu, yaitu
Nasionalisme, Islamisme, dan Msarxisme. Konsep NASAKOM yang dikemukakan
olehnya adalah manifestasi dari gagasannya tentang persatuan antara
tiga ideologi tersebut.
Dari analisis terhadap dua dokumen
bersejarah tadi bisa ditarik beberapa kesimpulan: pertama, TAP MPRS No.
XXV/1966 adalah cacat hukum atau inkonstitusional, karena bertentangan
dengan UUD 1945 dan Surat Perintah Sebelas Maret yang menjadi dasar
kemunculannya. Kedua, fakta atomik yang bisa dilihat dalam TAP MPRS No.
XXV/1966 adalah manipulasi konstitusi, dan pemerkosaan terhadap
nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila, seperti nilai kemanusiaan,
dan keadilan. Karena dengan kemunculan ketetapan ini pembantaian secara
besar-besaran terhadap orang-orang yang dituduh komunis terjadi di
berbagai daerah di Indonesia. Ketiga, TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang
keputusan bahwa TAP MPRS No. XXV/1966 tetap dinyatakan berlaku adalah
tidak sah dan kontradiktif, karena proposisi “kedepan diberlakukan
dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak
asasi manusia”, adalah kontradiktif dengan pelarangan sebuah ideologi
yang dalam hal ini adalah Komunisme/Marxisme-Leninisme. Karena
pelarangan terhadap ideologi adalah salah satu wujud tindakan
antidemokrasi, dan melanggar hak asasi manusia.
Pancasila adalah sumber dari semua
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sumber hukum meliputi dua
macam pengertian yaitu: pertama, sumber hukum formal, yaitu sumber hukum
dilihat dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum yang mengikat
masyarakat, seperti Undang-Undang, ketetapan presiden, peraturan
menteri. Kedua, sumber hukum material yang menentukan materi dan isi
suatu norma hukum. Jika sebuah norma hukum memiliki kontradiksi dengan
norma hukum lainnya yang lebih tinggi, apalagi dengan Pancasila, maka
terjadilah sebuah inkonstitusionalitas dan ketidaklegalan. Oleh karena
itu norma hukum tersebut batal demi hukum (Gunadarma, 2007:83). Karena
TAP MPRS No.XXV/1966 bertentangan dengan UUD 1945, Supersemar dan
Pancasila maka TAP MPRS No. XXV/1966 secara hukum adalah tidak sah dan
harus dibatalkan. Begitu juga dengan ketetapan MPR yang menyatakan TAP
MPRS No. XXV/1966 tetap berlaku***
* Penulis adalah mahasiswa S2 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, pernah menjadi guru SMA internasional di Jakart
0 komentar:
Posting Komentar